S
|
epanjang sejarah, manusia tak pernah berhenti mencari Tuhan
dengan berbagai cara dan jalan. Apa yang disebut agama sesunguhnya adalah jalan
untuk mengenal dan mendekat kepada Tuhan. Meyakinin dan mengetahui Tuhan, dua
hal yang berbeda. Mengingat Tuhan Mahagaib dan absolut, nalar manusia tidak
samapai untuk mengenal dan mengetahui-Nya sebagaimana kita mengenal dan
mengetahui manusia atau objek lain di alam ini. Manusia dengan bantuan kitab
suci mencoba mengenal dan mengetahui Tuhan dengan memberikan atribut dan
definisi, misalnya Yang Maha agung, Yang Maha Pengasih, Yang Maha Suci dan lain
sebagainya. Semua wujud yang muncul dari-Nya. Dia Sang Pencipta dan Esa,
pengatur jagat semesta, berada di luar ruang dan waktu, kerena Dia Pencipta
Ruang dan waktu. Hakikat dan zat Tuhan yang Mahamutlak dan absolut tidak akan
mungkin diketahui oleh nalar manusia yang relatif dan sangat terbatas. Manusia
yakin akan wujud dan kekuasaan-Nya namun tidak mungkin menjumpainya dengan
mata.
Demikianlah, Tuhan diyakini kehadiran-Nya sepanjang sejarah,
namun sekaligus menjadi objek diskusi dan perdebatan manusia karena manusia
tidak bisa melakukan klarifikasi dan verifikasi sebagimana dilakukan dalam
kajian ilmiah. Tuhan yang maha misterius, tidak tertangkap nalar dan mata
manusia. Tuhan yang maha menakutkan karena kebesarn dan kekuasaan-Nya. Tuhan
yang maha menarik, karena kasih dan cinta-Nya kepada manusia. Dengan tiga sifat
utama Tuhan itulah kemudian manusia dalam usaha mendekatkan kepada Tuhan
memberikan penekanan yang berbeda-beda. Ada yang lebih menekankan Tuhan sebagai
Sang Kekasih yang selalu dirindukan dan dicintai. Ada juga yang memposisikan
Tuhan sebagai Sang Hakim yang tegas dan menakutkan, yang selalu mengancam
dengan siksa neraka. Ada lagi komunitas filsuf yang membangun argumentasi
dengan segala sifat-sifat-Nya agar keberadaan-Nya mudah dipahami dan diyakini
manusia.
Berbagai macam agama
pernah hadir di muka bumi ini, bahkan sebagian sudah ada yang hilang bahkan
sudah dilupakan. Agama sebagai jalan mengenal dan mendekatkan pada-Nya. Ada
agama yang diyakini datang dari Tuhan yang disampaikan melalui rosul-Nya dan
ada pula agama produk pemikiran kontemplatif manusia. Masing-masing agama
memiliki karekter dan doktrin yang berbeda-beda. sehingga di bumi terdapat
pluralitas umat agama. Hanya agama yang dianggap cocok dan mampu menghadapi
kritik dan kebutuhan manusia yang akan bertahan. Karena itu di internal agama
terjadi pemikiran pembaruan dan penyegaran pemahaman terhadap ajarannya agar
senantiasa kontektual mengikuti perkembangan zaman. Kitab suci terus mengalami
penafsiran yang berkembang menyesuaikan zaman, jika penafsiran kitab suci
stagnan maka pemahaman ajaran agama tidak lagi relevan dengan zamannya.
Di Indonesia yang terdapat beragam agama dan semua
penganutnya dilindungi undang-undang, maka pemahaman dan tradisi berbagai agama
saling mempengaruhi. Disadari atau tidak bahwa pengaruh agama, misalnya, Hindu,
Buddha, Islam, Kristen, dan Konghucu; semua agama tadi adalah pendatang di
Nusantara ini yang akrab dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Kerana
interaksi tadi maka terjadi asimilasi budaya dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh, dalam tradisi kematian di Jawa secara ritual mirip dengan
ritual Hindu-Buddha namun dalam pelaksanaannya berisikan roh keIslaman.
mengingat manusia sebagai pencari Tuhan, beragam jalan dan
pengalaman yang didapatkan mereka ceritakan dan wariskan pada anak cucunya.
Konsekuensinya setiap anak umumnya akan mengikuti tradisi agama orang tuanya.
Hasil pencarian tersebut kemudian terlembagakan dalam sebuah institusi dan
tradisi. Para Nabi pada mulanya merupakan pribadi-pribadi yang gelisah. Mereka
adalah pencari sumber kebenaran, yang kemudian dipilih Tuhan sebagai Rosul-Nya.
Selama ini kita mengenal sederet nama Rosul Tuhan dan pemikir pencerah zaman.
Sudah seharusnya kita berterimakasih, lalu menjaga dan mengembangkan warisan
tersebut, bukannya malah merusak atau membuat kerusakan di muka bumi. Tuhan
dicari bukan semata untuk mengetahui dan mengenal-Nya dengan berbagai dalil dan
argumen yang dipelajari dan hafalkan, melainkan untuk mendapatkan pencerahan
agar hidup kita berada di atas jalan yang benar, baik, dan sedapat mungkin
bermanfaat dalam kehidupan ini, apapun asal suku, bahasa, budaya dan agamanya.
Satu Tuhan Berbeda Agama. Ada dua pertanyaan yang perlu
untuk dicermati, pertanyaan pertama, perputaran bumi, matahari, dan planet di
jagat raya ini dikendalikan oleh Tuhan yang sama atau berbeda? Pertanyaan
kedua, Tuhan yang kita sembah itu sama atau berbeda? Dari kedua pertanyaan
tersebut kemungkinan pertanyaan pertama setuju bahwa jagat raya ini
dikendalikan oleh satu Tuhan. Argumen paling sederhana, ibarat pesawat terbang
jika banyak yang mengatur tentu akan bertabrakan. Kemudian pertanyaan kedua,
jika pertanyaan kedua ditanyakan pada orang yang berbeda agama kemungkinan
besar jawabannya adalah menyembah Tuhan yang berbeda. Jika kita menyembah Tuhan
yang berbeda maka selanjutnya pertanyaannya adalah, bumi yang kita huni dan
matahari yang menyinari kita semua, pemeluk agama apa yang paling berhak
mengklaim sebagai penghuni paling sah dalam pandangan Tuhan? Andaikan Tuhan
menagih imbalan atau mengenakan tarif matahari, ibarat PLN menagih uang
listrik, penganut agama apa yang paling berhak mengumpulkan sebagai mendataris
Tuhan? Untuk pertanyaan lanjutan tadi tidak perlu di jawab cukup anda renungkan
saja.
Perdebatan abadi. Keyakinan dan pencarian Tuhan telah
berlangsung berabad-abad, banyak teori yang menjelaskan mengapa dalam diri
seseorang terdapat dorongan dan kebutuhan berTuhan. Banyak juga filsuf dan
saintis membangun teori bahwa keyakinan tentang Tuhan itu ilusi dan palsu akibat
dari kelemahan manusia menghadapi teka teki hidup yang tak terjawab. Namun jika
di timbang keyakinan tentang Tuhan jauh lebih kuat, dalam hal ini faktor
pewahyuan dan kenabian amat berperan. Perdebatan tentang Tuhan tidak semudah
penyelesaiannya seperti perdebatan saint, karena memang objeknya berbeda dan
pendekatan pembuktiaannya juga berbeda. Dalam perdebatan saint argumen dalam
wilayah empiris sehingga pembuktiaannya bersifat induktif dan positif.
Sedangkan perdebatan tentang Tuhan, argumen berdasarkan penalaran dan merujuk
pada wibawa kitab suci dan pengalaman beragama, mengingat objek yang
diperdebatkan bersifat abstrak, immateri. Pengalaman beragama juga sulit jika
menggunakan pendekatan saint , dikarena pengalaman beragama terutama yang
bersifat spiritual. Pengalaman spiritual lebih bersifat pribadi (privat) dan
sulit terulang kembali. Misalnya peristiwa isra mi'raj hal ini hanya dialami oleh Nabi, pembuktian secara empiris dan saint sangan sulit, disini faktor kepribadian Nabi sangat berperan, sebagai orang yang mendapatkan gelar Al Amin inilah yang kemudian membuat umatnya mempercayainya. Jika pendekatan yang digunakan pendekatan historis maka
pengalaman beragama ini bersifat fisik, biasanya lebih dari satu orang yang
mengalami. Sebagai contoh peristiwa jihrah, pada saat hijrah Nabi bersama
sahabat melakukan perjalan dari Mekkah ke Madinah dan disaksikan oleh orang
banyak.
Meskipun abstrak, bahwa keyakinan terhadap Tuhan dan
ajaran-Nya berpengaruh besar pada kehidupan seseorang dan komunitasnya. Banyak
peradaban agung lahir dari keyakinan dan gerakan beragama. selain menghadirkan
peradaban yang agung, disisi lain keyakinan beragama juga kerap kali
menimbulkan peperangan dan tindak kekerasan. Ini bermula dari keyakinan bahwa
setiap agama mempunyai jalan keselamatan yang dijanjikan Tuhan, terutama
keselamatn akhirat. Keyakinan dan konsep keselamatan pada akhirnya berkembang
pada penilaian bahwa di luar keyakinannya tidak ada jalan keselamatan. Terjadi
saling klaim, bukan hanya saja pada penganut beda agama, dalam satu agama
saja terjadi saling klaim bahwa hanya ajarannya yang benar, orang lain yang
berbeda adalah kafir. Terhadap yang kafir tadi hanya ada tiga pilihan, pertama
diajak baik-baik untuk mengikuti ajaran dan keyakinannya, pilihan kedua,
dibiarkan dan dihargai keyakinannya dengan tetap menjaga persahabatan sesama
manusia. Atau pilihan ketiga, diperangi karena orang kafir posisinya melawan
Tuhan yang mereka sembah, yang berarti posisinya sebagi lawan mereka.
Konflik dan perang dengan motif agama selalu mengandung
logika paradoks; menawarkan kedamaian dan keselamatan dengan cara ancaman dan
kekerasan, meneriakkan misi Tuhan yang Maha Pengasih sambil mengintimidasi dan
membunuh. Melakukan tidakan kekejaman dan pembunuhan tetapi dinggap tindakan
suci (holy war). Jika tidak ada cara pandang dan pendekatan baru, perbedaan
pemahaman dan keyakinan agama akan selalu memicu konflik dan kekerasan. Tidak
mengherankan jika kemudian muncul kelompok-kelompok masyarakat yang ingin
menemukan Tuhan di luar doktrin dan komunitas beragama. God and spirituality
without religion. Untuk apa beragama kalau agama bukan menjadi kekuatan
perdamaian dan peradaban?
No comments:
Post a Comment
untuk koment silakan bebas yang penting tidak mengandung SARA