Manusia selalu dipenuhi dorongan untuk selalu ingin mengetahui hal-hal baru. Dorongan ini difasilitasi oleh mata, telinga, mata dan otak, sehingga setiap ada kesempatan seseorang selalu ingin berziarah atau berpetualang memperluas wawasan dan pengalaman hidupnya. Pengalaman artinya sesuatu yang pernah dijalani, dirasakan, dan diketahui. Jadi jika hanya mendengarkan cerita atau membaca buku belum bisa dikatakan sebagai "pengalaman". Dalam melakukan pengembaraan faktor imajinasi sangat besar pengaruhnya. Sekian banyak inovasi dan perkembangan kemajuan saint dan teknologi pada mulanya lahir dari kekuatan imajinasi manusia yang tak terbatas. Dalam sejarah pemikiran manusia dikenal dengan istilah mitos dan logos. Mitos merupakan daya khayal manusia yang sangat liar dan bebas tak terstuktur. Manusia bebas membayangkan dan mengkhayalkan apa saja. Dahulu orang Timur Tengah membayangkan jalan-jalan keangkasa menggunakan karpet, orang Jawa membayangkan tokoh Gatotkaca dalam cerita pewayangan bisa terbang ke angkasa, sosok Ontorejo/ Antareja bisa ambles masuk ke dalam bumi.
Seiring perjalanan dan pengalaman panjamg hidup manusia yang disertai dengan daya nalar yang logis, logos/ logis berusaha berusaha menstrukturkan daya-daya imajinasi yang liar agar bisa diwujudkan dalam realitas saint. Logos pada akhirnya melahirkan formula ilmu pengetahuan sehingga imajinasi tentang karpet terbang, Gatotkaca yang bisa terbang sekarang tergantikan oleh pesawat terbang dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitupun dengan imajinasi Ontorejo saat ini dikembangkan dalam dunia pertambangan untuk berburu bahan tambang dalam perut bumi ataupun untuk menyelam ke dalam lautan untuk berburu mutiara.
Manusia melakukan ziarah karena berbagai motif dan pertimbangan. Ada motif bisnis, rekreasi, keilmuan, tugas, riset dan lain sebagainya. Yang sangat fenomenal sampai saat ini adalah ziarah ke planet lain. Namun tanpa kita sadari, kita semua hampir setiap hari melakukan "ziarah", bertemu dengan orang lain dan mendapatkan pengalaman serta pengetahuan baru. Tanpa "ziarah" manusia mustahil mendapatkan berbagai pengalaman dan pengetahuan baru. Terlebih mereka yang hidup di metropolitan sering kali berjumpa kenalan dan komunitas baru, termasuk komunitas beda profesi, agama, budaya dan bahasa. Semua pengalaman itu memperkaya wawasan hidup seseorang. Orang yang jarang melakukan ziarah seperti "katak dalam tempurung", begitu kaluar serba kaget ... kok semua sudah berubah ... dan si katak akhirnya membingungkan dirinya sendiri dan orang lain. Sebagaian ada yang gelisah setelah melihat komunitas lain lebih maju, membuat seseorang menjadi iri, rendah diri, atau sebaliknya menjadi terpacu untuk mengejar ketertinggalannya. Semua tergantung menyikapi dan dari mana sudut pandangnya.
Ketika kita mempelajari sejarah dan geografi sesungguhnya kita juga tengah berziarah ke masa lalu dan traveling secara virtual ke negara-negara orang untuk mengenal alam dan budayanya. Semakin banyak stasiun televisi, semakin banyak sajian acara yang mengajak pemirsa untuk berziarah, berwisata, dan istilah lain yang spirit untuk berziarah. Belum lagi semakin berkembangnya internet dunia ini terasa makin plural, orang semakin bebas berziarah seolah tanpa sekat batas waktu setiap saat dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan orang-orang lintas negara bahkan dengan yang tidak dikenal sekalipun. Kendala bahasa yang dulu menjadi penghambat komunikasi dapat teratasi dengan adanya teknologi "translate". Implikasi sosial lebih jauh, sekarang ini apa yang dulu disebut "budaya asli" suatu masyarakat lambat laun tak dapat dipertahankan lagi karena muncul budaya hibrid dan ekletik. Campuran, perjumpaan, asimilasi dan integrasi dari berbagai elemen budaya yang beragam. Termasuk budaya yang bernuansa agama. Misalnya tradisi perayaan tahun baru Masehi yang awalnya bagian dari budaya Barat Kristiani sekarang telah menjadi agenda tahunan di lingkungan masyarakat Islam. Begitupun dengan Valentine Day dan tradisi ulang tahun. Sebaliknya umat non Muslim juga telah akrab dan ikut berpartisipasi dalam memeriahkan hari besar Islam, utamanya idul fitri/ lebaran. Tak sedikit umat non Muslim ini ikut larut dalam uforia lebaran, tak hanya sekedar mudik namun ikut dalam tradisi halal bi halal.
Dunia semakin pendek jaraknya dan mudah dijangkau sekaligus semakin plural dan berwarna warni. Artinya objek ziarah budaya juga semakin banyak yang menarik untuk di kunjungi Disamping perbedaan budaya, bahasa, agama dan adat istiadat antar bangsa masih tetap bertahan, jarak serta perbedaan budaya dan agama masyarakat semakin dekat. Masing-masing berdialog dan saling memperkaya. Kita menempati Bumi yang sama, di bawah sinar matahari yang sama, apapun bahasa, adat, dan agama yang dipeluk seseorang sepanjang aktornya adalah manusia maka semuanya bisa didialogkan, dan kita semua bisa berbagi pengalaman. Passing Over, kita berziarah ke negeri atau ke rumah orang untuk menambah wawasan dan kekayaan hidup tanpa harus mengurangi atau mengubah karakter dan keyakinan dasar yang kita miliki dan yakini. Terdapat beberapa istilah yang muncul untuk menggambarkan relasi antar komunitas yang berbeda, misalnya toleransi. Namun kadangkala toleransi dipahami secara longgar, permisif dan negatif. Dalam obrolan sehari-hari ungkapan "menoleransi" cenderung bermakna lembek, tidak tegas. Padahal maksudnya saling menerima dan menghargai perbedaan. Ada lagi co-eksistensi, inklusif, dan moderat, yang dibedakan dari ekstrimisme dan radikalisme. Pemaknaan dari bebagai istilah tadi berkembang keluar dari pengertian awalnya yang bersifat generik. Misalnya istilah gerakan jihadis dan islamis, yang menurut pengertian dasarnya positif, mengingat kata "Islam" dan "jihad" adalah benar dan mulia. Akan tetapi oleh media Barat dua kata itu dikonotasikan sebagai aliran garis keras yang anti demokrasi, terlebih-lebih kemudian mendapat predikat "teroris". Seiring waktu dengan kampanye yang terus menerus kemudian tanpa disadari terjadi kesepakatan dunia bahkan di dalam negeri sendiri kata teroris sudah tidak asing lagi, begitu diberitakan "teroris" alam bawah sadar langsung terkoneksi ke kata "jihadis dan islamis". Padahal kalo kita cermati arti kata "teroris" yang berasal dari kata teror maknanya jauh dari kata jihad dan islam.
Menyangkut komunikasi dan kerja sama lintas umat beragama, fenomena yang terjadi adalah membanjirnya imigran dari Dunia Islam di Timur Tengah yang justru mencari suaka ke negara-negara Eropa yang bukan Muslim. Sebuah peta yang absurd. Antar sesama elite pemerintahan negara-negara Muslim berperang, kemudian rakyatnya dibuat menderita dan sekarang meminta perlindungan dan pertolongan ke masyarakat non Muslim, bahkan beberapa negara menyambut dengan ramah, bahkan terpampang spanduk tulisan selamat datang. Bagaimana kita menafsirkannya?
Secara politis - sosiologis, agama cukup rentan untuk dimanipulasi dan dibajak oleh mereka yang tengah bertikai berebut kekuasaan, lalu agama dijadikan sumber pembenaran dan pemasok amunisi emosional-ideologis. Di Indonesia sendiri setiap periodik kondisi seperti ini selalu terjadi dan berulang, lihatlah ketika tiba masa pemilu, baik pemilu legislatif, pilkada maupun pilpres, agama selalu dijadikan komoditi dan pasokon bahan bakar pengobar emosional-ideologis. Hal tersebut sangat kental sekali terasa, bahkan yang sedang hangat dan menimbulkan berbagai reaksi saat pilkada DKI, mungkin saja perkataan "Ahok" tidak akan sampai menimbulkan gelombang massa yang begitu besar andaikata itu keluar tidak berdekatan dengan pilkada. Antara membela agama ataukah karena demi kepentingan politik menjadi sangat kabur, namun amunis bernama agama ini terus membakar emosional-ideologi, bahkan tak tanggung-tanggung perbedaam pandangan dikalangan ulama sendiri menimbulkan saling kafir-mengkafirkan. Hal serupa juga pernah terjadi di Eropa, konflik antara Protestan dan Katolik menjadi konflik berdarah. Karena itu kita mesti berhati-hati untuk tidak mudah terprovokasi oleh akrobat kata-kata yang secara sengaja memanipulasi bahasa agama.
Menyangkut jebakan retorika ini, sebuah kata bisa berubah maknanya berkaitan dengan fungsi dan maksud untuk apa kata itu diungkapkan dalam sebuah wacana. Jadi ternyata kata dan bahasa juga melakukan "ziarah", kata dan bahasa tidak lagi netral. Language carries culture. Language is the house of being. Kita hidup dan berkomunikasi di dalam dan dengan bahasa, Bahasa bisa menyatukan sekaligus membedakan sesama manusia. Oleh karena itu kita mesti masuk pada tataran meta language untuk merajut nurani dan kemanusiaan kita yang terdalam sekaligus universal. Hidup ini sebuah ziarah, bayangkan betapa indahnya jika sesama "peziarah" kehidupan saling berkenalan, bercanda, berbagi pengalaman, dan saling tolong sekalipun mereka berangkat dari rumah yang berbeda dan memiliki destinasi yang berbeda juga. Begitupun seharusnya yang dilakukan sesama umat beragama, sekalipun mereka memiliki iman yang berbeda, kita ini hidup di bumi yang satu, mendapat cahaya matahari yang sama juga. Pluralitas tak mungkin terhindarkan, mari hidup berdampingan, saling menghargai dan bersama-sama membangun kehidupan yang madani.
No comments:
Post a Comment
untuk koment silakan bebas yang penting tidak mengandung SARA