Monday, October 11, 2010

Sajak - Sajak Wendoko

MEMORY OF YOU/ YA

Tolong, jangan menatapku ...
Di matamu aku melihat telaga yang biru
~suatu keluasan air yang hening, diam, tak beriak ...
hingga selembar daun yang tercabut dan lepas ke udara,
atau angin yang sejenak menyentak

lalu menyisir muka air,
hanya akan meninggalkan riak gelombang.
Pernah aku menerka, apa yang ada
di balik keluasan air.
Tetapi tetap ku jelajah matamu, hanya ku temui kedalaman yang biru.

Tolong jangan menatapku ...
Di matamu aku melihat sebidang langit senja
~seolah kanvas yang datar, buram, dan berwarna abu
hingga seekor burung yang tersesat dan mengepak
menembus cuaca, atau cahaya yang terjerat

lalu menyeruak lewat retakan awan,
hanya akan mengubah panorama langit.
Pernah aku menerka, apa yang ada dibalik kelabu langit.
Tetapi setiap kujelajah matamu, hanya ku temui kedalaman yang abu.

Tolong jangan menatap ku.



MEMORY OF YOU/ MONIK

Dimana Monik yang semalam ~bagai kabut~
memecah pandang, mengerutkan geliat-geliat air pada kolam,
meredupkan warna malam, lalu tersendat mengeja geriap angin
yang tiba-tiba membisu karena senyap

Dimana Monik yang semalam ~bagai gerimis~
memintas bayang, mengetuk-ngetuk atap, dinding, pintu
meretakkan kaca jendela, lalu sekejap sisa cahaya susut
ke remang daun, semak dan rumput

Di halaman itu (kau lebih dari tahu)
reranting bunga rontok karena senyap.

Dimana Monik yang semalam ~bagai dingin~
menggores cuaca, mengerak-gerakkan jari tajam
mengiris satu persatu rasa, lalu tergesa menghitung
setiap detik, menit, dan jam yang lambat 

Juga karena senyap.

MEMORY OF YOU/ EM

Kau datang (lagi)
lama setelah aku
tak dapat bermimpi.

Di ruang (yang lengang) itu
aku tahu, masih ada sosok mu
juga lekuk mulut dan dagu, kerjap mata
lalu geriap napas yang tertinggal
pada bangku-bangku kosong,
dinding (dinding) yang juga kosong,
sebuah plafon dengan alur lampu 
lalu petak-petak kaca yang menampakkan
potongan lanskap kota.

Ketika itu lewat tengah malam,
udara menggigil dalam ruang setengah buram,
sementara di meja bertumpuk file,
layar monitor yang terus berubah warna,
bulatan-bulatan cahaya, dan detak jam yang merintih
tersendat tertatih.

Lalu kau datang (lagi)
lama setelah aku
tak punya obsesi.

Di kafe (yang juga) lengang itu
aku tahu, masih ada sosok mu 
juga geliat lengan dan bahu, gelak tawa
lalu geletar kata yang terjerat
pada dinding (dinding) berwarna pasta,
cahaya-cahaya yang tak rata, lukisan grafis
dengan bidang dan garis yang statis, 
lalu lampu-lampu redup yang menampakkan
bentuk-bentuk lengkung pada kaca.

Ketika itu juga lewat tengah malam,
udara beraroma kopi ~dalam ruang
setengah temaram,
sementara di sudut ada obrolan ringan,
asap rokok yang mengantung di plafon,
suara gelas-gelas, dan musik bossa yang mengalun
seperti perfume.

"Kadang cinta bisa juga manis" katamu,
sambil menyeka sisa coffe latte
dibibir mu yang tipis.

No comments:

Post a Comment

untuk koment silakan bebas yang penting tidak mengandung SARA